Dalam
suatu kesempatan diplomasi antara Van der Plas (Gubernur Hindia Belanda untuk
wilayah Jawa Timur sebelum Jepang mengalahkan Belanda tahun 1942) dengan KH A
Wahab Chasbullah, diceritakan sebelum masuk ke pembicaraan inti, Van der Plas
terlebih dahulu hendak menguji kecakapan Kiai Wahab Chasbullah dalam bidang
teologi.
Ia
mengajukan satu pertanyaan dan lewat pertanyaan ini ia menduga Kiai Wahab
akan terperangkap pada pertanyaan pembuka tersebut.
“Kiai,
menurut Kiai lebih enak dan nyaman mana antara bernaung di bawah pohon hidup
dengan bernaung di bawah pohon yang mati,” tanya Van der Plas.
Demi
mendengar pertanyaan di atas, Kiai Wabab langsung paham, bahwa yang dimaksud
dengan “pohon mati” dan “pohon hidup” dalam kalimat pertanyaan tersebut
bukanlah arti harfiah atau makna hakiki yang dikehendaki Van der Plas,
melainkan arti majazi, ada makna tersirat dalam kalimat tersebut yang sengaja disajikan
secara implisit untuk menjebaknya di awal pembicaraan.
Kiai Wahab
Chasbullah sebagai Kiai yang sekian lama nyantri di banyak pesantren termasuk
berguru ilmu alat kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, pastilah beliau telah
matang dalam menguasai ilmu mantiq (logika Aristoteles) dan balaghoh
(susastra arab) sehingga tidak sulit bagi Kiai Wahab memahami esensi yang
terkandung di balik kalimat pertanyaan tersebut.
Kiai Wahab
dengan cepat mampu menafsirkan bahwa “pohon hidup” yang dikehendaki Van der Plas
ialah Nabi Isa yang masih hidup sampai kini di langit. Hal ini sebagai
representasi agama Kristen agamanaya pemerintah Hindia Belanda, dan “pohon
mati” diinterpretasikan dengan Nabi Muhammad yang sudah wafat sebagai
representasi agama Islam, agamanya mayoritas orang pribumi Nusantara.
“Saya
lebih memilih beteteduh di pohon mati,” jawab Kiai Wahab mantap.
Mendengar
jawaban Kiai Wahab, Van der Plas kaget, tak mengira sebelumnya bila Kiai Wahab
akan menjawab demikian.
“Bagaimana
bisa Kiai memilih berteduh di bawah pohon mati, apa argumentasinya?”
“Sejam
saja saya berada di bawah pohon hidup di waktu malam sudah begitu tersiksa, ada
gigitan nyamuk, hawa dingin, suasana senyap, semua itu membuat saya tidak
tahan. Tapi tiap malam saya berteduh di pohon mati justru begitu nikmat dan
nyamannya. Lihat dalam gedung ini, itu reng-reng di atas, balok-balok,
bukankah itu semua pohon mati,” jawab Kiai Wahab begitu taktisnya.
Fragmen
cerita perdebatan di atas beberapa kali penulis dengar dari cerita almagfurlah
KH Abdul Aziz Mansyur, Pengasuh Pondok Pesantren Pacul Gowang Jombang dan
Pimpinan Badan Pembina dan Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L)
dalam beberapa kesempatan ceramahnya.
Meskipun
belum ditemukan dalam literatur tertentu atau buku sejarah, tapi setidaknya
fragmen seperti ini dapat kita golongkan sebagai sejarah lisan munurut
Kuntowijoyo. Pasti almarhum KH Abdul Aziz Mansur yang wafat pada akhir tahun
lalu punya referensi. Setidaknya pernah mendapat tuturan cerita di atas dari
orang tua terdahulu yang menjumpai langsung zaman kolonialisme Belanda. (M
Haromain).Nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar