Kisah Sayyid Abdulloh /Pangeran kidul/Syekh Amongraga


Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga[3]. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras[4] yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini[5], yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.

Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi. Singkatnya, kandungan isi Serat Centhini sangat beragam sehingga sering disebut Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.

Konsep Kematian
Bagi kami agak sukar untuk menemukan secara tersurat mengenai konsep kematian dalam Serat Centhini. Alasannya karena penulisan serat ini berbentuk tembang Jawa yang sarat akan bahasa puitis sehingga kata-katanya bermakna ganda. Akan tetapi usaha ini mencapai titik terang setelah kami membaca Kupasan Inti Serat Tjentini yang disusun oleh R. Toharlewat penyuntingan Dr. A. Seno Sastroamodjojo.
Dalam bab IV: Wedjangan Seh Amongrogo, R. Tohar mencoba menelusuri bagaimana usaha Amongrogo untuk mencari Tuhan (Manunggaling kawula Gusti). Usaha ini tidak akan tercapai apabila manusia masih terpenjara oleh Rasa Kumingsun, yakni merasa diri lebih unggul. Manusia harus lepas dari ini supaya insaf sehingga muncul kesadaran bahwa semua makhluk sama dihadapan Tuhan. Apabila keadaan yang demikian tidak tercapai maka manusia tidak dapat memasuki alam sujo-ruri, suatu kesunyian. Untuk dapat memasuki sujo-ruri Amongraga menasihatkan untuk: panekung, artinya semedi secara khusuk, tak tergoda oleh apapun; dyana, artinya tekad bulat untuk berkonsentrasi menghadap Tuhan; pencerahan, dengan sumeleh dan sumarah; paramita, artinya kehidupan lahir batin yang menuju ke arah kesempurnaan, yakni sikap legowo, susila, kanceng, waspada, tepa selira, dan wicaksana.
Dekat atau jauhnya Tuhan dari manusia pada hakekatnya tergantung pada pandangan dan kegiatan kita sendiri. Untuk bisa manunggal dengan Tuhan, kita harus menempuh 4 macam jalan:
Sare(ng)at
Analoginya dipakai sebuah hutan rimba. Tumbuhan sangat lebat sehingga suasananya amat gelap. Sebagian tumbuhan mesti ditebang untuk membuat jalan setapak menuju cita-cita.
Tarekat
Setelah selesai membentuk jalan, hendaknya kesempurnaan hidup dicari dan dilaksanakan sepanjang jalan tadi.
Hakekat
Hal ini diibaratkan dengan sebuah obor yang menerangi jalan tersebut.
Makripat
Dalam level ini orang bisa memiliki kewaspadaan mengenai adanya Dhat sebagaimana dilukiskan dalam pepatah bahasa Jawa Hora arah, hora enggon, nanging mesti hono (tak berkiblat, tak bertempat, tetapi pasti ada).

Selanjutnya R. Tohar mengulas wejangan Amongrogo tadi dalam bab V. Pada level sare(ng)at, ibadah adalah menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Tahap tarekat, kesadaran tingkat awal harus diinsafi lebih dalam dan ditingkatkan. Lalu pada hakekat, Amongrogo melihat itu sebagai usaha menjunjung tinggi Dzat yang dilandasi oleh kesungguhan hati pada waktu dan menurut aturan yang telah ditetapkan. Sementara makripat terkandung upaya menjernihkan kebaktian kepada Tuhan yang dilandasi oleh tubuh yang suci. Perkataan dan tindakan mesti seimbang. Tauhid adalah kebulatan tekad yang terkandung dalam hati sanubari hingga memuncak pada pelenyapan segala pandangan, bahkan terhadap Tuhan. Perasaan memiliki jiwa dan raga yang konkritpun tidak ada lagi. Pada saat itu musnahlah perasaan Aku.
Kemudian dari proses pentahapan ini, Amongraga berupaya menggabungkannya menjadi:
1. Sare(ng)at dalam makripat
Tahapan ini berarti segala sesuatu yang bersifat keduniawian diabaikan. Sedapat mungkin makan, minum, dan tidur dikurangi. Tidak boleh memperhatikan segala syarat doa, menghafatkan atau membaca kitabpun tidak.
2. Tarekat dalam makripat
Pada intinya manusia tidak mengikuti gerak-gerik keduniawian. Dalam kebatinan Jawa disebut Mati sadjroning urup (mati dalam hidup). Usaha ini bisa berarti pula bersembunyi di tempat yang sunyi, misalkan di gua atau puncak gunung sehingga manusia tidak lagi kontak dengan sesamanya. Di tempat ini ia melatih diri untuk menjernihkan pikirannya lewat tapabrata atau mesubrata[6] demi pengenalan diri pribadi.
3. Hakekat dalam makripat
Pemusatan diri sangat ditonjolkan pada tahap ini. Diri sendiri adalah satu-satunya yang ada (laksana Tuhan) segala yang suci dan berbudi luhur. Jadi yang berkuasa adalah diri pribadi karena segala sesuatu yang terjadi di antara bumi dan langit tidak diperhatikan lagi.
4. Makripating makripat
Ini adalah keadaan yang mengandung pelajaran memisahkan diri dari segala sesuatu yang ada dan/atau sedang terjadi dalam alam semesta. Manusia masuk ke alam kekosongan. Dalam kekosongan itu kita akan merasakan kenikmatan yang tak terhingga. Seketika itu juga lenyaplah perasaan bahwa kita memiliki jiwa dan raga. Pada saat itu juga kita tidak menghambakan diri kepada siapapun juga sambil tetap hening dengan sendirinya yang tidak disebabkan oleh pengaruh apapun.

Slamatan sesudah Kematian
Kebiasaan untuk mendoakan atau menghormati arwah dari keluarga atau sahabat kenalan yang telah meninggal dunia ternyata dibicarakan dalam Serat Centhini. Sebagai pemisalannya doa arwah nyatus, nyewu, atau nyekar. Kalau kita telisik lagi ternyata ada pakem yang mesti diperhatikan dalam melaksanakan ritual tersebut, yakni dengan menggunakan petungan dan primbon[7]. Motivasi-motivasi yang melatarbelakangi tindakan ini diantaranya adalah untuk mendapatkan kesaktian[8], memohon bantuan dari para leluhur[9], berkomunikasi dengan arwah[10].
[1] Lih. Ki Sumidi Adisasmita, Pustaka Centhini Selayang Pandang, Yogyakarta, U.P Indonesia, 1974, hlm.10. Ki Susmidi adalah pemerhati kebudayaan Jawa, lahir di Solo 1893.
[2] Lih. www.wikipedia.id dalam KOMPAS Jumat, 04-08-2000. Halaman: 27

[3] Seh adalah sebuah sebuatan yang hampir sama dengan kyai untuk seorang alaim ulama. Among atau emong (dari kata mong): serahkan diri akan atau menumpahkan segala perhatian atas sesuatu. Rogo: tubuh, badan. Jadi Amongrogo: seorang yang sedang memperhatikan perkembangan tubuh dan jiwa selama hidupnya
[4] Ni adalah penyingkatan dari kata Nini yang berarti Nyonya atau Nona. Tambang: tali. Raras (laras): sehati. Jadi Tambangraras adalah seorang yang sehati dengan Seh Amongrogo. Atas dasar itu orang terkadang menyebut Serat Centhini sebagai Suluk Tambangraras.
[5] Berasal dari kata djalalen turunan kata Arab: djalal atau djalaludin yang berarti cahaya agama.
[6] Tapabrata dari bahasa Sansekerta: berlatih menuju ke kesempurnaan. Mesubrata bisa disebut juga sebagai mesuraga atai mesuraga: melatih dan mengendalikan nafsu berahi yang bernyala-nyala.
[7] Petungan adalah salah satu isi dari primbon Jawa yang mengandung arti perhitungan aritmatik, penaksiran, dan pertimbangan akan sesuatu. Kedua element ini berfungsi untuk menyerasikan kejadian duniawi dengan kondisi adikodrati.
[8] Lih. Centhini jilid VII
[9] Lih. Centhini jilid XI
[10] Ibid.
Penulis pilip juwianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar